Dulu,
dia adalah seseorang yang selalu bersamaku. Selalu ada disaat aku
membutuhkannya dan akupun berusaha selalu ada disaat dia membutuhkan ku. Tapi tidak
dengan sekarang. Tuntutan pendidikan harus memisahkan kami. Semenjak pertama
kali aku pergi, sampai saat sekarang ini belum pernah lagi bertemu dengannya.
Termasuk saat itu, Kamis, 31 Oktober 2013.
Dia sosok
sahabat yang sangat aku sayangi. Keluarganya sudah seperti keluargaku sendiri
begitupun sebaliknya keluargaku sudah seperti keluarganya. Kebijaksanaan kedua
orang tuanya membuatku sangat menyegani mereka. Berkunjung kerumahnya semakin
mendekatkan persahabatan kami.
Entah mengapa,
aku selalu saja teringat akan hal itu, padah sudah hampir satu tahun aku mengabdi di tanah orang. Ya, aku adalah
anak rantau dari tanah Minang. Pergi jauh dari orang-orang yang aku sayangi
dan menyayangiku termasuk dia, sahabatku. Ini aku lakukan demi suatu keinginan
luhur, mencapai cita-cita dan membahagiakan orang-orang yang menyayangi ku, orang tuaku dan lagi-lagi dia sahabatku.
Kala
senja mulai datang, aku mulai jenuh dengan apa yang aku hadapi saat ini, tak
tahu kepada siapa harus kulimpahkan kegelisahan yang memenuhi hati ini. Lagi-lagi
aku teringat dia sahabatku. Kenangan masa lalu yang terukir jelas di memori ini
tak kan mampu aku hapuskan. Aku pun mulai menceritakan semua kegelisahan yang
ada. Begitupun dengannya, bercerita apa saja yang bisa ia ceritakan kepadaku.
Waktu terasa
berhenti saat sahabatku itu mulai bercerita. Entah aku yang tidak peka terhadap
apa yang ia alami atau bagaimana, ternyata apa yang aku alami tak sebanding
dengan apa yang sahabatku rasakan. Ayahnya. Penyakit yang sudah lama bersarang
di tubuh orang tua yang bijaksana ini kambuh kembali. Aku kembali teringat
beliau, sosok sederhana itu.
Untaian
doa selalu ku lantunkan kepada sang kuasa, pemilik segala penyakit dan juga
pemilik segala obatnya. Aku ingin beliau sembuh, karena bagiku ayahnya adalah
ayahku juga. Menanyakan kabar keluarganya pada saat itu adalah suatu keharusan
bagiku.
Sore itu
waktu terasa berhenti saat sahabatku itu mengetahui ayahnya yang bijaksana ini sudah
di rawat selama hampir satu minggu. Tak ada satupun keluarga yang memberi kabar
kepadanya. Kekecewaan kembali ia rasakan. Ia merasa semua keluarga telah membohonginya.
Saat ia menceritakan semuanya aku ingin sekali berada disampingnya, duduk dan
merangkul bahunya. Tapi itu tidak mungkin aku lakukan pada saat itu. Jarak yang memisahkan kita terlalu jauh. Aku hanya
mampu berkata “Itulah keluargamu, mereka teramat menyayangimu, mereka tak mau
menambah beban pikiranmu. Jadi tak usah selalu menyalahkan mereka karena hal
ini, doakan saja yang terbaik untuk beliau”. Ya hanya kata-kata itu yang mampu
terucap dari bibirku.
Bersambung.
. .
No comments:
Post a Comment