Wednesday, 9 April 2014

Mereka Tidak Membohongimu

Dulu, dia adalah seseorang yang selalu bersamaku. Selalu ada disaat aku membutuhkannya dan akupun berusaha selalu ada disaat dia membutuhkan ku. Tapi tidak dengan sekarang. Tuntutan pendidikan harus memisahkan kami. Semenjak pertama kali aku pergi, sampai saat sekarang ini belum pernah lagi bertemu dengannya. Termasuk saat itu, Kamis, 31 Oktober 2013.

Dia sosok sahabat yang sangat aku sayangi. Keluarganya sudah seperti keluargaku sendiri begitupun sebaliknya keluargaku sudah seperti keluarganya. Kebijaksanaan kedua orang tuanya membuatku sangat menyegani mereka. Berkunjung kerumahnya semakin mendekatkan persahabatan kami.

Entah mengapa, aku selalu saja teringat akan hal itu, padah sudah hampir satu tahun  aku mengabdi di tanah orang. Ya, aku adalah anak rantau dari tanah Minang. Pergi jauh dari orang-orang yang aku sayangi dan menyayangiku termasuk dia, sahabatku. Ini aku lakukan demi suatu keinginan luhur, mencapai cita-cita dan membahagiakan orang-orang yang menyayangi ku, orang tuaku dan lagi-lagi dia sahabatku.

Kala senja mulai datang, aku mulai jenuh dengan apa yang aku hadapi saat ini, tak tahu kepada siapa harus kulimpahkan kegelisahan yang memenuhi hati ini. Lagi-lagi aku teringat dia sahabatku. Kenangan masa lalu yang terukir jelas di memori ini tak kan mampu aku hapuskan. Aku pun mulai menceritakan semua kegelisahan yang ada. Begitupun dengannya, bercerita apa saja yang bisa ia ceritakan kepadaku.

Waktu terasa berhenti saat sahabatku itu mulai bercerita. Entah aku yang tidak peka terhadap apa yang ia alami atau bagaimana, ternyata apa yang aku alami tak sebanding dengan apa yang sahabatku rasakan. Ayahnya. Penyakit yang sudah lama bersarang di tubuh orang tua yang bijaksana ini kambuh kembali. Aku kembali teringat beliau, sosok sederhana itu.

Untaian doa selalu ku lantunkan kepada sang kuasa, pemilik segala penyakit dan juga pemilik segala obatnya. Aku ingin beliau sembuh, karena bagiku ayahnya adalah ayahku juga. Menanyakan kabar keluarganya pada saat itu adalah suatu keharusan bagiku.

Sore itu waktu terasa berhenti saat sahabatku itu mengetahui ayahnya yang bijaksana ini sudah di rawat selama hampir satu minggu. Tak ada satupun keluarga yang memberi kabar kepadanya. Kekecewaan kembali ia rasakan. Ia merasa semua keluarga telah membohonginya. Saat ia menceritakan semuanya aku ingin sekali berada disampingnya, duduk dan merangkul bahunya. Tapi itu tidak mungkin aku lakukan pada saat itu. Jarak yang memisahkan kita terlalu jauh. Aku hanya mampu berkata “Itulah keluargamu, mereka teramat menyayangimu, mereka tak mau menambah beban pikiranmu. Jadi tak usah selalu menyalahkan mereka karena hal ini, doakan saja yang terbaik untuk beliau”. Ya hanya kata-kata itu yang mampu terucap dari bibirku.


Bersambung. . . 

No comments:

Post a Comment